Senin, 08 Juli 2019

Dear  suamiku, Zulfikar  akbar...

Sayang, tataplah  mataku, pandangi  wajahku  dulu  sebelum  kuhujani  dengan  beribu  pertanyaan.
Atau jika aku tiada, bayangkan saja 😊

Apa kamu hari ini masih mencintaiku? Apa kamu benar -benar  masih  menyayangiku apa adanya? Dengan sepenuh  hati? Apa hanya ada aku dihatimu? Apa kamu masih menyadari  bahwa aku adalah istri yang membutuhkanmu, membutuhkan  kasih  sayangmu, membutuhkan  segalanya  yang ada pada dirimu?

Tidak, aku tidak bermaksud  untuk  meragukanmu. Aku hanya takut, terlalu  banyak  pengharapanku  kepadamu  tentang  itu  semua  namun  sejatinya  tak semuluk  yang kubayangkan. Karena  sakit  sekali  ketika  harus  terbangun  dari  mimpi  yang ternyata  nyata. Jika ternyata  semua  janji  manis  sekedar  janji, sekedar  kata-kata untuk menarik  perhatianku kepadamu, agar aku  mencintaimu, agar aku memberikan  seluruh  yang kupunya  hanya  untukmu.

Semoga tidak, karena  aku takut  yang....
Sayang, aku takut apa yang kuputuskan menyakiti diriku sendiri. :(

Kali ini aku tidak akan meminta  maaf  atas apa yang kurasakan.
Berkali -kali kutangisi  hidupku, namun  tidak seperti  yang kurasa  hari  ini.

Setiap  pagi, aku harus membangunkanmu  untuk  mengantarku  bekerja, dan itu susah  sekali. Bukan hanya karena kamu susah  dibangunkan, terlebih  aku harus  memaksa  rasa ngantukmu  hanya untuk  mengantarku. Mungkin  kamu belum  begitu  paham  dengan istrimu  ini, karena  memang  kita  tidak  lama pacaran, dan baru menikah sekitar  4 bulan.
Aku merasa lebih baik ketika aku yang susah  daripada kamu, bukan karena cintaku melebihi  apapun, tapii  karena  aku tak mau kamu sakit, susah, atau merasakan  yang tidak  enak  apalagi  karena  aku.
Jika ada nasi dingin, lebih baik untuk aku saja. Jika ada makanan gosong  biar aku saja  yang makan  dan aku akan membohongimu  bahwa aku suka  yang gosong. Maafkan aku, sayang....
Bahkan aku beberapa  kali membohongimu  kalau  aku sudah makan  hanya karena  uang  tidak  cukup  untuk  membeli  dua makanan, tidak apa aku yang kelaparan.

Belum lagi jika kamu akan terus  marah  karena  harus  mengantarku. Tapi sebagai seorang istri, aku terpaksa  harus  diam menerima cacian dan makian jika itu harus  aku terima, juga muka masam dan ocehan darimu  hanya karena  sebenarnya  malas mengantarku  pergi  bekerja.

Sedangkan kamu setelah itu  mungkin  akan tidur  lagi  atau main game  sampai  lupa makan. Jika aku waktu pagi tidak sempat  buatkan  sarapan , kamu akan memintaku  memesankan  makanan untukmu  meski  aku sedang bekerja. Aku tetap  menuruti  keinginanmu. Aku hanya ingin berusaha  menjadi istri  terbaik  dari versiku  sendiri. Dan satu lagi, ketika aku  pergi  bekerja  aku harus membuatkan  teh  manis untumu  dan siapkan  air  putih  untuk  kamu minum  ketika  bangun  nanti.

Di malam hari kamu sibuk main game, dan mungkin  lupa atau tidak tahu kalau istrimu ini butuh pelukan  dan ciuman  bahkan  cumbu. Bukankah aku memiliki hak untuk  itu?
Bukan tengah malam ketika aku sudah terlelap  tidur.

Padahal dulu kamu tidak begitu, ketika  awal pernikahan  kita...

Semua terasa  indah, tapi lama kelamaan  aku mulai  merasakan  sakit  hati  sedikit  demi  sedikit...
Banyak  hal kecil  yang berubah, aku hanya mampu rasakan, bukan  protes kepadamu ataupun  pada Tuhan.

Tolong biarkan  aku meluapkan di sini, biarkan  aku simpan  sendiri  sakit  dan perihku  sendiri. Biarkan saja aku menjadi pendiam seketika untuk merenungi apa yang telah aku pilih dan berimbas pada diri sendiri.
Aku sedih jika ternyata kamu menjadikanku pelaian ataupun sesuatu yang waktu itu aku takutkan, maaf aku tak pernah mengatakan kepadamu karena aku takut menyakiti hatimu dengan mengingatkanmu pada seseorang atau sesuatu yang ingin sekali kamu lupakan. Kamu sudah berusaha, dan aku tahu berapa besar pengorbananmu untuk ini semua.

Tapi apa kamu tidak ingat bagaimana caramu mendekatiku dan bisa mendapatkanku sekarang? Ingatkan kamu menangis ketika mendengar aku dilamar pacarku? Aku menangis karena aku pikir aku menyakitimu, aku pikir aku telah membuatmu memiliki harapan lalu masih berhubungan dengan pacarku, aku masih pacaran dengannya tapi masih bersamamu. Kamu tahu kan bagaimana aku waktu itu? Bukan aku yang mengejarmu... Kamu harus akui itu, kamu yang memaksaku setiap hari untuk bertemu bahkan pada akhirnya kita bersama itu karena kamu yang memintaku.
Supaya aku tidak mengutuk diriku sendiri pada rasa bersalah ini.

Ternyata aku yang menyakiti hatinya, menghianatinya, hanya karena orang yang baru kenal dengan memperlakukanku begitu sempurtna, seperti seorang ratu. Iya, aku merasa spesial sekali di matamu waktu itu, menjadi orioritas utama dan selalu didahulukan dari apapun kecuali pekerjaanmu, itupun kamu selalu menyempatkan untuk menghiburku dan membuatku senang. Tapi mengapa sekarang begitu berubah saa sekali tak seperti pada saat itu?

Ketahuilah, bahwa aku tak hanya butuh kata cintamu tapi lebih pada bukti nyata, tindakan dan pemberian.
Aku sambil menangis saat menuliskan ini......